Potensi Otak Kanan

         
          Era di mana orangtua berharap anak-anaknya menjadi professional, seperti dokter, insinyur, akuntan, atau ahli komputer, belum lewat. Tidak banyak orangtua yang "melepas" begitu saja anak-anaknya untuk menekuni musik atau seni saja, tanpa menekuni bidang pelajaran lain.

          Diam-diam kita masih meyakini dominasi belahan otak kiri, yaitu terkait logika, data, dan fakta sebagai penentu kesuksesan. Ya, kita memang tidak bisa menghitung kinerja dan memprediksi ke depan, tanpa fakta dan data. Namun, kita pun bisa melihat betapa kerja otak kanan yang berhubungan dengan feelings, kreativitas, inovasi, dan hubungan antarmanusia semakin dominan menentukan keberhasilan setiap profesi. Orang tidak lagi memilih dokter yang sekadar jago mendiagnosis, tetapi lebih menyukai dokter yang kuat berempati dan bisa 'menerangkan' duduk perkara penyakit dalam storytelling yang menarik. Kemampuan para wirausaha memilih produk, mengambil keputusan, dan memilih orang kepercayaan juga terasa jelas lebih mengandalkan intuisi daripada sekadar angka dan fakta. Individu bertitel MBA semakin banyak, tetapi mereka yang sukses adalah para meaning makers yang tidak sebatas membaca angka, tetapi sebaliknya menunjukkan kemampuan berkreasi, mengidentifikasi hal baru, berempati, dan melihat big picture- nya. Era otak kiri sudah berganti fokus menjadi otak kanan yang berupa kemampuan berinovasi, berempati, dan memberi makna dari hal-hal sekitar kita.

          Kita lihat betapa banyak organisasi yang menderita akibat ketidaksadaran bahwa kerja otak kanan penting. Bila kita telaah, kegagalan dalam membuat suksesi CEO dan entrepreneur juga kerap tidak terlepas dari kesenjangan kompetensi dari pimpinan dengan jajaran tim ahli yang ada di bawahnya. Si CEO banyak menggunakan otak kanannya, untuk mencari solusi dan menyusun strategi, sementara jajaran profesional di bawahnya berkekuatan logika dan angka, senantiasa diasah untuk memperkuat otak kirinya. Tanpa disadari, semakin mereka berkuat-kuat dalam berpikir, semakin besarlah kesenjangan para tim ahli ini dengan CEO atau pimpinannya. Kita lupa bahwa kelangkaan kompetensinya justru terletak pada perbedaan kerja otak. Kita tidak menyadari bahwa tim perlu dilengkapi kemampuan tranformasi, seperti empati dan kreativitas, yang digerakkan oleh cara pikir yang beda, lentur, tidak berstruktur, dan bahkan didasari oleh way of life yang berbeda. Kita membutuhkan storyteller yang mahir, kreatif, dan penuh empati, ketimbang number crunchers yang jenius, tetapi berpikir logis dan linier saja.

Tren "outsource" otak kiri

          Seorang ahli, Dan Pink, mengatakan, "The future belongs to a very different kind of person with  a very different kind of mind." Kita juga bisa melihat betapa kinerja otak kiri, seperti pencatatan, komputerisasi, dan input data, sekarang bisa di-outsource atau bisa dilakukan oleh pihak di luar perusahaan. Anggapan orang bahwa yang bisa di-outsource adalah pekerja blue collar sudah mulai ditinggalkan. Saat ini kinerja white collar pun sudah tergantikan oleh mesin. Pekerjaan rutin yang menyangkut penghitungan dan engineering pun bisa dilimpahkan ke luar perusahaan, bahkan ke luar negeri, dengan menggunakan hasil secara real time. Sebaliknya, hal yang tidak bisa tergantikan di perusahaan adalah kekuatan membaca kebutuhan pelanggan, menentukan hal-hal yang punya daya tarik atau sebaliknya usang. Ide-ide pembaruan, inspirasi dan inovasi, tetap harus ditumbuhkan di dalam perusahaan. Kita sudah memasuki era baru, dimana kita perlu menyadari bahwa era teknologi sudah berlalu, dan ini adalah saatnya berfokus pada konteks. Semua pimpinan dan manajer perlu bisa berempati lebih dalam agar pemahaman sosial konseptual tidak meleset. Mereka perlu mejadi storytellers yang jago, agar isi pikirannya bisa tertransfer dengan lancar ke bawahan, dalam rapat melalui cerita. Cerita bisa memeri impact emosional yang lebih berkekuatan daripada penyajian data saja. Dampak emosional membuat informasi menempel di ingatan dengan lebih baik.

          Fokus yang berlebihan pada analisis data, angka, dan target, bisa membuat kita lupa berinstropeksi secara mendalam dan luas, apalgi berimajinasi. Betapa sangat menguntungkan bila prinsip-prinsip mendesain yang digunakan oleh para desainer kita terapkan pada saat membuat segala macam strategi perusahaan, juga hal-hal penting di pemerintahan. Busway, kanal banjir, dan sandal jepit adalah contoh temuan atau solusi serta desain yang dilandasi kinerja otak kanan. Jadi, bila kita perhatikan, pola pikir mendesain itu bukan sekadar karya seni atau desain produk yang khusus, tetapi hampir semua di sekitar kita memang dilandas pola pikir desain kita. "Design and leadership are fundamentally about actively creating the future rather than reacting to the present."

Merajut koneksi dan simfoni otak 

          Sangat sempit bila kita masih beranggapan bahwa pengembangan belahan otak kanan semata terkait dengna seni, drama, film, dan musik. Kita jelas perlu memikirkan cara menanamkan dan mengembangkan kinerja otak kanan ini dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari dan juga pekerjaan. Handry Santriago, di dalam salah satu presentasinya, menganjurkan kita untuk banyak mebaca novel, agar pikiran kita tidak terkotak-kotak dan bergaris-garis, tetapi lebih cair sehingga memungkinkan kita menghubunngkan disiplin ilmu satu dengan yang lainnya di dalam tabungan pikiran kita. Hasilnya adalah kemampuan lebih baik dalama mengembangkan ide baru, berinovasi, juga mengambil keputusan di tempat kerja kita. Tanpa mengaktifkan peran otak kanan otak kita tak akan bisa membuat koneksi, Padahal, di era konseptual ini, sangat penting bagi kita untuk membuat koneksi, baik itu koneksi interpersonal, antardisiplin ilmu, hati ke hati, ataupun masa lalu, sekarang dan masa depan. Tanpa kemampuan membuat koneksi seperti layaknya sebuah simfoni, kita tidak bisa mendapatkan big pictur yang lengkap dan mendalam apalagi mempunyai perspektif yang inovatif.

          Kita memang perlu banyak belajar dari generasi milenial, jagoan "game" yang memang memulai daya pikirnya dengan kinerja otak kanan semenjak dini. Generasi milenial ini mengatakan "We no longer just want to have things; we want cool things. We want well-desinged things. We want things with meaning." Tantangan kita adalah melakukan senam otak kanan lebih banyak dengan mengasah empati, sense of humor, bermain dan utak-atik data sehinnga otak kiri kita diwarnbai lagu, simfoni, "story", warna, desain, dan mebuat hidup kita lebih berwarna dan bermasa depan.

9 comments:

  1. Terima kasih gan sudah mau berkunjung

    ReplyDelete
  2. brainstorming yang keren. Sudah ga musim ngandelin IQ semata.

    ReplyDelete
  3. mantab sob postingannya....

    ReplyDelete
  4. wonderful blog....keep posting
    pliz visit mine too
    http://www.kramatmangames.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks gan, udah mau mampir

      kunjungan balik sukses

      Delete

Mohon untuk berkomentar yang sesuai dengan artikelnya, jangan taruh live link di artikel manapun di blog ini. Harus ada sumber atau beri link dari artikel yang kamu kopas dari blog ini bila ingin kopas